Rabu, 21 Oktober 2015

PENGARUH ALIRAN CASH FLOW DI INDONESIA TERHADAP NILAI PERTUKARAN RUPIAH DAN USD


PENGARUH ALIRAN CASH FLOW DI INDONESIA TERHADAP NILAI PERTUKARAN RUPIAH DAN USD


Akhir-akhir ini nilai tukar Rupiah cenderung melemah. Hal yang sama juga dialami oleh mata uang beberapa negara emerging markets (negara berkembang yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi dengan cepat) lainnya.

Mengapa Nilai Tukar Rupiah Melemah?
Pelemahan rupiah terjadi karena beberapa faktor eksternal selain faktor internal, seperti defisit neraca transaksi berjalan. Banyak pengaruhnya dari faktor eksternal, contohnya rencana AS untuk mengurangi stimulus moneter dan kondisi harga-harga komoditi yang masih terkoreksi di 2013, serta penurunan hasil ekspor Indonesia. Selain itu, menurunnya pergerakan rupiah lebih didukung kecenderungan melambatnya ekonomi negara-negara berkembang, seperti China dan India. Sedangkan dengan negara-negara maju terjadi pemulihan ekonomi.
Nilai tukar sebuah mata uang ditentukan oleh hubungan penawaran-permintaan (supply-demand) atas mata uang. Jika permintaan atas sebuah mata uang meningkat, sementara penawarannya tetap atau menurun, maka nilai tukar mata uang itu akan naik. Kalau penawaran sebuah mata uang meningkat, sementara permintaannya tetap atau menurun, maka nilai tukar mata uang itu akan melemah. Dengan demikian, Rupiah melemah karena penawaran atasnya tinggi, sementara permintaan atasnya rendah.
            Faktor yang menyebabkan penawaran atas rupiah tinggi, sementara atasnya rendah adalah keluarnya sejumlah besar investasi portofolio asing dari Indonesia. Keluarnya investasi portofolio asing ini akan menurunkan nilai tukar Rupiah, karena dalam proses ini, investor menukar Rupiah dengan mata uang negara lain untuk diinvestasikan di negara lain. Maka akan terjadi peningkatan penawaran atas Rupiah.
Kenapa investasi portofolio asing ini keluar dari Indonesia? Alasan yang sering disebut adalah karena rencana the Fed (bank sentral AS) untuk mengurangi Quantitative Easing (QE
Menurunnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) belakangan ini juga berkaitan dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Sementara melemahnya rupiah dipengaruhi oleh ketidakpastian pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi. Apabila harga BBM naik otomatis inflasi naik dan suku bunga negatif akhirnya investor cabut. Dari sisi kurs anjlok otomatis investor akan rugi sehingga mereka harus menarik diri dari pasar modal. melemahnya pasar modal Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
 Dampak Melemahnya Rupiah
Dinamika ekspor-impor memang berdampak pada nilai tukar mata uang. Ekspor meningkatkan permintaan atas mata uang negara eksportir, karena dalam ekspor, biasanya terjadi pertukaran mata uang negara tujuan, dengan mata uang negara eksportir. Pertukaran ini terjadi karena si eksportir membutuhkan hasil akhir ekspor dalam bentuk mata uang negerinya agar bisa terpakai dalam usahanya. Sebaliknya, impor meningkatkan penawaran atas mata uang negara importir, karena dalam impor, biasanya terjadi pertukaran mata uang negara importir dengan mata uang negara asal. Karena akhir-akhir ini, impor Indonesia lebih besar daripada ekspornya, maka situasi ini telah melemahkan nilai tukar Rupiah.
Banyak pihak yang terpukul atas meningkatnya komoditi ekspor di Indonesia, Pertama adalah konsumen, terutama konsumen kelas bawah, karena pendapatan mereka tidak bisa mengimbangi kenaikan harga barang. Kedua  pihak-pihak dalam rantai distribusi komoditi impor mulai dari importir sampai pengecer, karena mereka menghadapi pasar dalam negeri yang menyusut. Ketiga adalah  para usahawan yang berorientasi pada pasar dalam negeri.  Keempat rakyat pekerja yang sudah terpukul dari sisi konsumsi akibat kenaikan harga barang, juga akan dijepit dari sisi upah oleh pengusaha yang terjepit oleh kenaikan harga alat-alat produksi impor, kenaikan nilai utang luar negeri dan penyusutan pasar dalam negeri.
Namun Kemerosotan kurs Rupiah hingga nyaris 13,000 per Dolar beberapa hari belakangan telah menjadi berita terpanas menjelang akhir tahun. Beragam faktor menjadi penyebab kurs Rupiah melemah; diantaranya fundamental ekonomi Indonesia yang masih rapuh serta sentimen regional Asia dan negara-negara berkembang yang memburuk dan berakibat pada pelarian modal ke luar negeri.

1. Nilai Gaji Dalam Dolar AS Meningkat
Tanpa perlu dijabarkan sekalipun, fakta ini sudah umum dipahami. Kurs Rupiah melemah membuat nilai gaji dalam bentuk Dolar AS atau mata uang asing lainnya jadi meningkat saat ditukarkan dengan Rupiah. Kiriman bulanan TKI sebesar 500 USD ke keluarganya di Indonesia, misalnya. Saat kurs Rupiah 12,000 per Dolar AS maka jumlah itu hanya akan setara dengan sekitar 6 juta Rupiah; tetapi bila kurs Rupiah melemah hingga 13,000 per Dolar AS maka nilainya akan meningkat jadi sekitar 6,5 juta Rupiah.

Ini dengan sendirinya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga Indonesia yang kebetulan kerabatnya bekerja di luar negeri, sekaligus membuat makin banyak orang berkeinginan untuk menjadi TKI.

2. Meningkatkan Daya Saing Produk Made In Indonesia di Luar Negeri
Sudah umum diketahui juga bahwa dengan kurs Rupiah melemah, harga produk Indonesia akan makin murah bagi konsumen yang berdomisili di luar negeri. Secara teoritis, hal ini bisa meningkatkan pangsa pasar bagi produk-produk Made In Indonesia. Selain itu, perusahaan berorientasi ekspor menerima pembayaran dari luar negeri dalam bentuk Dolar AS yang nilainya semakin tinggi seiring melemahnya Rupiah. Dengan sendirinya, kondisi ini bisa meningkatkan ekspor Indonesia.
Meningkatnya daya saing produk Made In Indonesia di luar negeri ini berpotensi memicu ekspor Indonesia dan menguntungkan perusahaan-perusahaan berorientasi ekspor jika biaya produksi barang-barang ekspor itu sendiri bisa dijaga dalam kisaran normal dan produk Indonesia disukai di luar negeri.

3. Harga Barang Impor Naik
Salah satu dampak yang langsung terasa saat kurs Rupiah melemah adalah kenaikan harga barang-barang impor. Sebagian besar perdagangan luar negeri Indonesia dijalankan dengan perantaraan Dolar AS, sehingga mahalnya Dolar AS akan membuat harga barang impor juga makin mahal. Apakah ini bagus?

Bagi barang-barang impor dari jenis barang konsumsi, mungkin bagus. Katakanlah harga buah-buahan impor naik, misalnya, maka orang mungkin akan tertarik untuk membeli buah-buahan lokal yang lebih murah dan segar. Jika masyarakat lebih suka buah lokal, maka impor buah pun akan turun. Pendapatan importir buah ikut anjlok, tetapi di saat yang bersamaan akan menggeser rejeki bagi petani dan pedagang buah lokal.

Namun, kenaikan harga barang impor ini akan buruk sekali bagi industri yang berbahan baku impor, misalnya industri Tempe dan Tahu. Kebutuhan kedelai Indonesia sebagian besar dipenuhi dari impor, sehingga bila kurs Rupiah melemah terus menerus, maka harga kedelai akan makin menjulang tinggi, dan dampaknya harga Tempe dan Tahu naik, serta industrinya terancam gulung tikar.


Solusi
Solusi yang paling tepat menjaga nilai mata uang kita adalah investasi emas. Kapanpun emas akan selalu stabil, walaupun pernah turun sesaat. Hal tersebut bukan berarti harga emas tidak stabil. Untuk melakukan investasi tentunya bukan di hitung dalam waktu yang singkat saja, tetapi investasi bisa dikatakan benar – benar investasi kalau kita menghitung dalam jangka yang lama, menjaga stabilitas harga dan mengamankan neraca perdagangan.
            Selain itu, BI harus berusaha untuk membuat rupiah lebih menarik dengan menaikkan Fasilitas Bank Indonesia (Fasbi) minimal 100 basis point.
Perlu segera diambil langkah-langkah fundamental dan struktural. Pengendalian rupiah, tak semestinya dilakukan dengan mengerem pertumbuhan kredit yang bisa berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi. Yang harus dilakukan adalah pengaturan cash flow nasional. Bank Indonesia perlu mempertimbangkan relaksasi ketentuan untuk melakukan pendalaman pasar valuta asing, untuk memikat aliran modal masuk (capital inflow).
            Namun di sisi lain, Arif menegaskan ekspor harus didorong dan impor harus sangat dikendalikan. Produksi nasional, mutlak harus didongkrak, termasuk produksi sektor pertanian, serta industri perkapalan dan sektor kelautan. Agar impor pangan dan deficit neraca djasa bisa ditekan.
Kebijakan fiskal pemerintah harus disusun dalam kerangka mendorong ekspor.
Misalnya dengan menurunkan pajak ekspor dan promosi perdagangan agresif. Sebaliknya untuk mengendalikan impor, pajak impor harus dinaikkan dengan dimulai dari barang mewah.
Selain itu, adanya strategi pengembangan industri dan produksi nasional, terutama industri menengah dan kecil. Penciptaan lapangan kerja, realisasi anggaran, serta implementasi program pedesaan, UMKM, dan sosial, perlu dipercepat

 SUMBER REFERENSI :




Tidak ada komentar:

Posting Komentar